26 Jun 2012

Magic.... Uh?


Alexa duduk bersama Tanner, sang kakak, dan teman-temannya di Hogwarts Express. “Hi, I’m Ryan. What’s your name?” tanya salah satu teman Tanner. “Kau menggoda adikku, Ryan?” Tanner mendekatkan Alexa ke arahnya dari ‘serangan’ Ryan. Semua teman Tanner, yang berjumlah 5 orang, termasuk Ryan, tertawa. Alexa, yang merupakan orang paling muda disitu hanya bisa terdiam.

Setelah beberapa jam duduk di kereta dengan menyisakan bungkus permen dan coklat di tempat duduk, Alexa sampai di Hogwarts. “Alexa, sebaiknya kau cari teman seangkatanmu. Kita akan naik kereta kuda menuju kastil. Dan tidak akan muat jika ditumpangi oleh enam orang. Maaf,” ujar Tanner setelah turun dari kereta. “Hm, no prob, Tanner. Bye,” balas Alexa sambil memeluk Tanner. Tanner kemudian menghampiri teman-temannya yang tadi duduk bersama Alexa.

Alexa berjalan mencari kereta kuda untuk dia tumpangi. “Hai!” seorang lelaki bertubuh sedang dan berambut agak pirang menepuk pundaknya. Alexa memekik pelan. “Ah, kau tidak perlu takut. Aku sama sepertimu, murid baru,” kata lelaki itu seakan bisa membaca pikirannya. “Namaku James, James Sirius Potter,” lanjutnya. “Oh, uhm---aku Alexa. Alexa Chance,” balas Alexa. “Nama yang bagus! Maukah kau menemaniku menumpangi kereta kuda ini?” tanya James sambil menunjuk sebuah kendaraan beroda tanpa ada yang menariknya.”Hei, ini tidak ada yang menariknya,” ujar Alexa sedikit takut. “Kau takut Alexa? Tenang, kau tidak perlu takut! Sebenarnya mereka ada, hanya saja hanya orang-orang tertentu yang bisa melihatnya,” jelas James sambil membantu Alexa naik. “Hah? Orang-orang tertentu? Maksudmu?” tanya Alexa yang kesulitan untuk duduk karena kereta itu basah. “Jadi, hanya orang-orang yang pernah melihat kematian secara langsung saja yang bisa melihat hewan itu,” kata James tersenyum. Alexa berho-oh sambil menanggukan kepalanya.

“Alexa Chance,” panggil wanita tua yang memegang sebuah topi yang dapat berbicara. Alexa duduk disebuah kursi, lalu wanita tua tersebut meletakkan topi itu diatas kepalanya. “Darah murni. Pintar. Rajin. Oh tidak---jenius! Memiliki sikap keingintahuan yang tinggi. Tidak takut akan kekalahan, selalu mengakui kesalahan, memiliki tingkat keberanian yang sangat tinggi. Gryffin---oh, RAVENCLAW!” anak-anak Ravenclaw bersorak. Alexa langsung berlari menuju meja Ravenclaw. James terlihat kurang setuju dengan keputusan topi seleksi untuk memasukkan Alexa ke Ravenclaw.

James melempar jubahnya ke kursi, kemudian melemparkan tubuhnya ke atas kasur. “Alexa? Ravenclaw? Bagaimana bisa? Dia jenius, darah murni, dan dia termasuk orang yang nekat menurutku,” James mendesah di kamar barunya di ruang Gryffindor. Dia memukul dirinya sendiri dengan bantalnya. Teman-teman barunya yang satu kamar dengannya tidak berani menyapa atau menenangkan James. Karena memang, malah itu James terlihat “garang” akibat Alexa dan dirinya tidak satu asrama.
***
3 years later....

Greyson sedang memakan nasi-jamur-keju-leleh bersama Alexa dan Tanner pagi itu. Suasana di rumah sangat sepi semenjak Scott pergi ke luar kota untuk tugas dari kementrian sihir, dan Lisa ikut menemaninya. "Kira-kira Dad pulangnya kapan ya?" Greyson memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya. "Tugas Dad sangat sulit, Grey. Susah memprediksikan kapan Dad puulang. Bersyukurlah masih ada kami disini," ujar Tanner lalu merangkul Greyson.

Krak...

Greyson menoleh ke arah ruang tamu. “Oreo?” Greyson berlari ke sumber suara. Dan benar saja, Oreo, burung hantu milik keluarga Greyson baru saja datang membawa sebuah surat. “SURAT DARI HOGWARTS!”, Greyson mengambil surat itu dari paruh Oreo. Alexa dan Tanner langsung berlari dari ruang makan lalu memeluk adik kecil mereka. Greyson membuka surat itu.

*************************************************************************************************


Hogwarts School of Witchcraft and Wizardy

Headmaster: Albus Dumbledore

Dear Mr.Chance


We are pleassed to inform you that you have been accepted at Hogwarts of Witchcraft and Wizardy. Please find enclosed a list of all the necessary books and equipment.


Term begins on September, 1. We await your owl by no later that July, 31.






Your sincerely,







Minerva McGonagall
*********************************************************************

“Ready?” tanya Tanner. “For what?” Alexa dan Greyson balik bertanya. “Beli perlengkapan lah! Dad sudah menitipkan uangnya kepadaku sebelum berangkat tugas,” ujar Tanner. “Oh iya! Hehehe,” Greyson tersenyum lebar. “Ayo, Alexa, kau masuk duluan,” kata Tanner sambil membukakan pintu di perapian. “Tunggu, aku akan memakai jubahku!” teriak Alexa yang sedang menaiki tangga menuju kamarnya. “Oh iya, aku lupa! Tunggu disini, Grey!” Greyson mengangguk.

“Oke, Alexa!” Tanner menyuruh Alexa memasuki pintu perapian pertama, diikuti Greyson. “Sekarang kita kemana?” tanya Greyson setelah keluar dari bangunan yang menjadi alternatif semua penyihir yang tinggal di dunia muggle. “Kita ke---Flourish and Blotts!” kata Alexa sambil melihat daftar barang-barang yang harus dibeli. “Tempat apa itu?” tanya Greyson sambil berjalan. “Itu tempat untuk membeli buku-buku. Transfigurasi, pertahanan terhadap ilmu hitam, herbiologi, mantra, seja---” “cukup Alexa!” Greyson menutup telinganya dan berjalan lebih cepat.

“Sudah lengkap! Tinggal beli tongkat! Ayo kita ke Ollivanders!” Tanner mengangguk lalu merangkul kedua adiknya. “Eh tunggu! Barang kita kemana?!” Greyson baru menyadari tidak ada barang-barang miliknya dan kedua kakaknya. Alexa mengeluarkan tas kecil dari saku jaketnya. “What?! Ba---bagaimana bisa?!” tanya Greyson tak percaya. “Itu pakai mantra tak terbatas. Jadi, kita bisa menyimpan barang sesukanya di dalam sini. Perlengkapan kita sudah lengkap disini, termasuk kualimu!” jelas Tanner. Greyson melotot tak percaya.

“Selamat datang di Ollivander!” sapa sang pemilik toko. “Ayo, Grey! Tidak usah takut,” bisik Alexa. “Tunggu! Grey? Greyson Chance?!” tanya pemilik toko yang mendengar bisikan Alexa. “Euh---uhm, iya. Itu saya,”  Greyson gemetar sambil mendekatkan dirinya ke pemilik toko. “Kau---kau! Ayo, mendekatlah, tidak perlu takut! Namaku Ollivander. Aku yang membuat tongkat seluruh penyihir di dunia,”Lelaki tua itu memperkenalkan dirinya. “Akhirnya, ada yang memakai tongkat itu!! Aku sudah mengira saat kau kesini tiga tahun lalu untuk mengantar kakak perempuanmu,” lanjutnya. Greyson tidak mengerti apa yang dikatakan Mr.Ollivander.

Mr.Ollivander memberikan tiga tongkat sihir yang berbeda dari tongkat sihir lain  yang ada di toko itu. “Coba letakkan tangan kananmu diatasnya. Satu per satu dan perlahan-lahan,” ujar Mr.Ollivander pelan. Greyson mengangguk dan meletakkan tangan kanannya tepat di tongkat yang pertama. “Tidak ada reaksi apa-apa,” kata Greyson pelan. “Oh, tentu saja! Tongkat memilih penyihir, bukan penyihir memilih tongkat!” Mr.Ollivander mengambil tongkat pertama. “12 ½ inchi, dengan inti dari naga. Kayu aspen, cukup lentur. Coba tongkat kedua,” kata Mr.Ollivander setelah meraba-raba tongkat pertama.

Greyson melakukan---seperti apa yang dia lakukan pada tongkat pertama---di atas tongkat kedua. Masih tidak bereaksi apa-apa. “11 ½ inchi, inti dari unicorn. Kayu hazel, keras. Ini bukan tongkatmu, Mr.Chance. Coba yang terakhir. Aku yakin tongkat ini milikmu. Karena kau adalah lelaki-yang-telah-ditakdirkan,” jelas Mr.Ollivander lagi. Greyson tidak mengerti apa maksudnya. Greyson meletakkan tangan kanan diatas tongkat terakhir. Tiba-tiba saja terdengar suara angin yang bertiup sangat kencang. Tongkatnya terangkat ke arah tangan Greyson yang sempat terangkat karena kaget. “Waw! Aku tidak pernah melihat efek sedahsyat inI! Mr.Chance, kau adalah orangnya! Ya!” Mr.Ollivander menggoyangkan bahu Greyson. Alexa dan Tanner yang melihat dari dekat pintu tercengang dan juga tidak mengerti apa yang dikatakan Mr.Ollivander. “13 inchi, inti dari bulu burung phoenix. Kayu hitam dan keras. Ini adalah tongkat terhebat, Mr.Chance!” Mr.Ollivander memberikan tongkat itu kepada Greyson setelah dia meraba-raba tongkat itu.

“Uhm, berapa ini, Mr.Ollivander?” tanya Alexa sambil membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan. “Oh, tidak perlu! Aku sudah berjanji saat aku membuat tongkat ini, jika ada orang yang berhasil memilikinya, aku akan memberikannya gratis,” ujar Mr.Ollivander. “Oh, oke! Thank you, Sir!” Tanner mengajak Greyson dan Alexa keluar. “Alexa, Tanner, apa maksudnya ini?” tanya Greyson sambil membolak-balikkan kotak transparan yang berisi tongkat sihir miliknya. Alexa dan Tanner menggelengkan kepalanya dengan muka kaget. Saking heran dengan tongkatnya, Greyson terus menatap kotak itu.

Bruk!

Greyson menabrak seseorang yang kelihatannya seangkatan dengannya. “Oh, I’m so sorry!” ujar Greyson. “Hm, it’s okay! No prob!” balas perempuan itu langsung berlari ke arah laki-laki tua yang sepertinya ayahnya. “Come on, Grey! Kita harus cepat sampai rumah!” Tanner berlari sambil membawa burung hantu peliharaan Greyson.
***
“Alexa, kau tau apa maksud Mr.Ollivander?” tanya Tanner sedikit  pelan di kamarnya. “Aku pernah membaca sebuah buku ramalan kelas dua,” ujar Alexa menutup pintu kamar kakaknya. “Disitu tertulis, ‘penyihir terjahat di dunia akan bisa dikalahkan dengan seorang anak laki-laki yang memang ditakdirkan. Dia memiliki salah satu dari tiga tongkat terhebat yang pernah dibuat oleh seorang pembuat tongkat sihir terkenal, Mr.Ollivander,’”  lanjutnya.

Tanner dengan cepat mengambil buku ramalan miliknya, “halaman berapa?!” “Hm, coba 121,” kata Alexa. Tanner membuka halaman yang disebutkan oleh Alexa dengan cepat. “AH IYA! BENAR!” teriak Tanner. “Shhh! Sebenarnya dari sebelum dia lahir, aku merasakan yang berbeda. Greyson lahir saat hari terakhir peperangan,” Alexa merebut buku itu dari Tanner. “Lihat! ‘anak laki-laki itu lahir pada saat hari terakhir perang penyihir yang sangat dahsyat. Dunia berubah saat anak laki-laki itu lahir. Kejahatan lama telah usai, dan kejahatan yang baru akan muncul detik itu juga.’” Alexa menatap wajah Tanner dengan wajah khawatir.
***
Grey, kau sudah siap? Jangan pakai jubahmu dulu! Nanti kalau kau hampir sampai di Hogwarts, barulah kau pakai,” Lisa mengambil jubah yang sudah Greyson masukkan ke sebagian tubuhnya. “Kenapa, Mom?” tanya Greyson. “Lebih aman jika kau pakai disana. Para muggle tidak biasa melihat seragam sekolah seperti ini. Dan memang ini dilakukan semua penyihir. Ayo cepat, Dad sudah menunggu dibawah! Jangan lupa bawa daging asap kejunya,” ujar Lisa sambil melipat jubah Greyson dan memasukkannya ke dalam koper.

“Oreo mana?” tanya Greyson pada Tanner “Dia sudah ada di mobil. Tenang saja,” jawab Tanner sambil berlari keluar rumah. Greyson mengangguk lalu memasukkan daging asap keju bikinan Lisa ke dalam tas kecilnya. “Greyson!!” Panggil Alexa dan Tanner. “Yaaa, tunggu!” Greyson berlari mengunci pintu rumahnya.

Greyson dan keluarganya telah tiba di stasiun King Cross tepat pukul 10.30 waktu London. “Come on, Oreo! Kita akan pergi sekolah!” Greyson memindahkan kandang Oreo ke troli yang telah disiapkan Tanner. “No, Dad! Biar aku saja yang memindahkan koper ini,” ujar Greyson. Scott membiarkan anaknya bekerja sendiri agar terbiasa.

Para muggle yang sedang berlalu-lalang di stasiun itu menatap Greyson dengan heran. “Grey, abaikan saja! Mereka tidak biasa melihat ini, mereka hanya muggle,” gumam Greyson dalam hati, seakan dirinya membaca pikiran orang itu. “Tanner!” Scott memanggil anak pertamanya. Tanner langsung menembus dinding peron 9 dan 10, diikuti Alexa dan Lisa.

Saat Greyson akan berlari menembus dinding itu, dia bertemu dengan seorang anak laki-laki bermata biru. “Hai!” sapa Greyson. “Oh, halo!” balasnya sambil tersenyum. “Namaku Greyson, Greyson Chance,” kata Greyson. Wanita berambut merah mengembang itu menatap Greyson kaget. “Namaku Albus Severus Potter. Panggil sama Al. Oh iya, ini kakakku James Sirius Potter, dan adikku Lily Luna Potter,” Al memperkenalkan saudara kandungnya kepada Greyson. “Ini ayahku, Harry Potter, dan ibuku Ginny Potter,” lanjutnya. Greyson tersenyum kepada keluarga Potter.

“Oh, bagaimana kalau kalian berbicara di dalam kereta? 15 menit lagi kereta berangkat,” ujar pria berkacamata yang bernama Harry Potter. Scott mengangguk dan membiarkan keluarga Potter terlebih dulu menembus dindingnya. “Albus, kau duluan saja bersama Greyson. Aku ingin berbicara dengan ayahnya,” ujar Harry. Albus mengangguk lalu mengajak Greyson menembus dinding itu bersama.

"Greyson, kemana ayahmu?" tanya Lisa. "Dia bersama Mr.Potter, Mom. Tenanglah, dia akan kesini. Oke, aku berangkat dulu. Sampai jumpa!" Greyson mengecup pipi ibunya lalu berlari ke arah Albus yang sedang berbincang dengan ibunya. "Albus, come on!" Greyson menepuk pundak Albus. "Oh, come on! Bye, Mom!" Albus berlari menyusul Greyson yang sudah berada di dalam kereta.

(to be continued)

23 Jun 2012

Ka(mu)lian yang Terbaik #2


-Greyson-

Greyson. Cowok ganteng, imut, berambut dan bermata coklat. Greyson adalah sahabat Cody sejak mereka bertemu di Amerika, saat mereka diputuskan untuk tour bersama di Amerika. Keduanya memutuskan untuk berkuliah di Inggris, walaupun mereka berkuliah di tempat berbeda. Karena Inggris adalah tempat teraman untuk ‘mengungsi’ dari paparazzi. Pagi itu, Greyson bersiap-siap untuk menjemput sahabatnya di bandara.

-Laras&Cody-

Laras dan Cody sampai di bandara Internasional di Inggris. Mereka baru pulang dari Indonesia. Ya, mereka telah bertunangan. Cody yang menginginkan semua ini, spesial untuk Laras. Lagipula,Laras sudah sering bertemu  orang tua Cody, jadi Cody menggunakan kesempatan ini untuk bertemu orang tua Laras. Laras merasa bahwa dia adalah salah satu orang yang beruntung di dunia ini, karena memiliki calon suami yang benar-benar baik dan perhatian.

“And last, is yours,” Cody menyerahkan koper milik Laras. Kemudian Laras menyimpannya di troli lalu melajukan trolinya. “Now, my friend has already promised to meet  me at the airport now,” kata Cody. “Okay! So, we got to meet him now. Maybe he’s been waiting,” ujar Laras mempercepat langkahnya. Cody mengangguk lalu membantu Laras mendorong trolinya.

-Greyson-

“Cody!!” Greyson berteriak memanggil Cody. “Greyson!” Cody mengarahkan trolinya ke arah Greyson. Laras mengikuti Cody dari arah belakang. “Hi, bro! How are you? Long time not see you!” kata Greyson memeluk Cody. “I’m fine. Greyson, she’s Laras. She’s my fianc,” Cody memperkenalkan Laras. Laras tersenyum pada Greyson. “Greyson. Greyson Chance,” Greyson membalas senyum Laras. “Oh guys, we have to go now! There’s someone waiting for us. It seems to talk about our concerts,” ujar Greyson melihat jam tangannya. Cody dan Laras mengangguk, lalu menarik kopernya.

She’s look different. Uh, Grey! What  do you think?! She belongs to Cody!!” gumam Greyson dalam hati. Ya, Greyson terpesona pada Laras. Pada pandangan pertama. Tapi Greyson tahu, Laras milik Cody. Bahkan mereka telah bertunangan. “Greyson, are you okay?” tanya Cody membuyarkan lamunan Greyson. “I’m okay Cody,” ujar Greyson tersenyum. “Are you---”, “Laras, I’m fine! I’m just tired,” Greyson memotong pembicaraan Laras. “Oh. Uhm, it’s okay!” balas Laras sambil tersenyum.

Selama di perjalanan, Greyson dan Cody mulai membicarakan konsep untuk konser mereka nanti. Laras hanya bisa memperhatikan mereka sambil mendengarkan lagu dari Ipodnya. Karena Laras tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, Laras memutuskan  untuk tidur. Greyson yang menyadarinya langsung melihat ke arah Laras lalu tersenyum kecil. “Grey,” panggil Cody. “Laras. She’s sleeping,” ujar Greyson kepada Cody. Greyson melihat senyum yang menghiasi wajah Cody. Belum pernah Greyson melihat Cody tersenyum sebahagia ini. “Mungkin aku harus mengalah,” gumam Greyson dalam hati sambil tersenyum. Air matanya sudah menggenang di matanya. Tapi Greyson tak membiarkan air mata itu jatuh di depan sahabatnya.
***
Pagi ini, Laras, Cody, dan Greyson sudah tiba di bandara untuk pergi ke Korea sebagai negara yang mereka kunjungi ketiga setelah Taiwan dan Indonesia. Laras sangat suka dengan Korea! Oleh sebab itu, Cody memutuskan untuk lebih lama berdiam di Korea, dan Greyson menyetujuinya.

“Laras, come on!” ujar Cody setelah mendengar pengumuman. Laras menyelendangkan tas kecilnya lalu menggandeng tangab Cody. “Greyson, let’s go!” kata Laras yang melihat Greyson masih terdiam di tempat duduknya sambil menatap layar handphonenya. “Grey, are you okay?” Cody menghampiri Greyson. “Uhm, I’m okay, Coco!” Greyson langsung menyembunyikan handphonenya. Cody dan Laras langsung mengkerutkan keningnya. “Let’s go, guys!” Greyson menarik tangan Cody lalu berlari kencang menuju pesawat.

Selama perjalanan dari Taiwan menuju Korea yang memakan waktu kurang lebih 2 jam, Laras tertidur dibahu Cody dengan earphone di telinganya. Cody dan Greyson berbincang sambil meminum segelas kopi yang baru saja diberi oleh pramugari. Ketika Greyson berdiri untuk mengambil barang ditasnya, Greyson tak sengaja melihat Laras yang tertidur. “She’s beautiful,” gumam Greyson dalam hati. Kemudian matanya kembali tertuju kepada tas miliknya.

Tak terasa mereka akhirnya tiba di Korea. Laras yang masih mengantuk tidak bisa melepaskan tangan Cody dan tidak bisa menyandarkan kepalanya ke bahu Cody. “Annyeong! Welcome to South Korea, Cody, Greyson!” sapa salah satu fans---lucky fans mereka yang menyambut tepat di pintu keluar pesawat. “Thank you---what’s your name?” tanya Greyson sambil menjabat tangan gadis itu. “My name is Chung Ae,” balas gadis Korea itu sambil tersenyum. “And, what’s your name?” tanya Chung Ae kepada Laras. “Oh, uhm, Laras. Nice to meet you, Chung Ae,” jawab Laras sambil tersenyum sambil membetulkan poninya yang hampir menutup mata kirinya.

Chung Ae mengajak Greyson, Cody, dan Laras untuk segera mengambil koper-koper mereka lalu keluar bandara. Mereka mengikuti langkah Chung Ae. Laras tampak lebih bersemangat, lalu menghampiri Chung Ae yang berjalan didepannya. Mereka asyik berbincang dengan bahasa Korea, membuat Cody dan Greyson mengkerutkan keningnya. “Laras can speak in Korean, Cody?” Greyson mengalihkan pandangannya dari Blackberrynya. Cody menggelengkan kepalanya. Cody selama ini tidak tahu bahwa Laras sangat mencintai Korea, sampai-sampai fasih berbahasa Korea. Cody dan Greyson lalu tertawa, dan Laras kemudian menatap keduanya dengan tajam.

The-Boy-Who-Are-Destined had been Born


Texas, 16 Agustus 1997

Pagi itu, suasana peperangan antar penyihir masih terasa, bahkan sampai ke dunia muggle. Scott sebagai kepala keluarga berusaha menyelamatkan istri, kedua anaknya, dan seorang calon anak yang sebentar lagi akan menghirup udara di dunia untuk yang pertama kalinya.

“Dad, ada apa ini? Kenapa kita harus kabur dari rumah? Lihat, Mom sudah kesakitan,” ujar Tanner. Alexa, adik Tanner yang masih berusia 3 tahun, hanya bisa terdiam disebelah mamanya yang merintuh kesakitan. “Sekarang kita akan mengantar Mom ke rumah sakit, Tanner,” ujar Scott berbohong.

Sebenarnya Scott tidak berbohong. Dia memang akan membawa istrinya, Lisa, ke rumah sakit muggle untuk melahirkan. Tapi, dia juga harus berhati-hati terhadap serangan dari dunia sihir. Scott tidak bisa memberitahu anaknya tentang sihir terlebih dahulu, khawatir anak-anaknya menyalahgunakan sihir itu.

Scott menyuruh Alexa dan Tanner masuk ke mobil, sementara dirinya menggotong Lisa yang sebentar lagi akan melahirkan. Setelah semuanya telah berada di dalam mobil, Scott mulai melajukan mobilnya dengan kencang dan sangat hati-hati. Scott menghindari sejumlah penyihir yang berperang di dunia muggle.
***
London, 20 Juli 2006

“Dad, ada burung hantu di ruang tamu!!” Greyson kecil berlari ke arah Scott dengan sedikit ketakutan. “Kenapa, Grey? Apa kau takut?” tanya Scott mengelus. Greyson menganggukan kepalanya. “Hahaha, ngapain kau takut? Nanti kau perlu burung hantu suatu hari nanti,” kemudian Scott menggendong putra kecilnya dan berjalan menuju ruang tamu untuk menghampiri burung hantu miliknya.

Greyson ketakutan saat ayahnya mengambil surat dari paruh burung tersebut. “Apa itu, Dad?” tanya Greyson. “Ini? Surat untuk Alexa. Sama seperti Tanner empat tahun lalu. Mungkin kau tidak ingat ya, hahaha,” Scott menurunkan Greyson dari pangkuannya kemudian duduk di sofa terdekat. 

Terdengar suara langkah kaki yang cepat. Alexa berlari menuju Scott lalu memeluknya dari belakang. “Dad, itu apa?” tanya Alexa. “Surat untukmu, Alexa. Dari Hogwarts,” jawab Scott memberikan suratnya kepada Alexa. “Hogwarts?! Oh, Dad, benarkan?! Akhirnya aku bisa sekolah disitu!!!!” Alexa melompat kegirangan. Greyson yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa terdiam.

“Mungkin besok kita akan ke Diagon Alley untuk membeli perlengkapan untukmu dan Tanner---” “But, Dad, bagaimana denganku? Tempat apa itu?” tanya Greyson memotong pembicaraan ayahnya. “Kau? Untukmu masih tiga tahun lagi. Tapi Dad akan mengajakmu juga ke Diagon Alley,” Scott tersenyum. “DAD!! Kau tidak adil! Kau membiarkan Greyson dan Alexa tahu tentang sihir sejak kecil, sedangkan aku tidak boleh mengetahuinnya sampai surat itu tiba!” ujar Tanner yang masuk ke ruang tamu dengan tiba-tiba. “Kata siapa?! Aku baru mengetahui sihir sejak kau baru pulang dari Hogwarts pada tahun pertamamu!” Alexa memprotes kepada Tanner. “Dan itu empat tahun yang lalu, Alexa!” Tanner membuang muka. Dad Scott tertawa.

“Dad tidak pilih kasih. Dad melakukan ini semua juga demi kebaikan kalian. Kalau kau, Tanner..” Lisa mencubit pelan hidung Tanner, “kalau kau tidak aku perlakukan seperti tujuh tahun lalu, sepertinya kau dan adik-adikmu akan membuat ulah,” lanjutnya. Tanner dan Alexa terdiam, lalu mengangguk tanda mengerti. “Mengerti apa yang Mom bicarakan?” tanya Scott. “Mengerti, Dad,” jawab Tanner dan Alexa bersamaan. Kemudian Scott bangun dari sofa dan berjalan menuju kamar tidurnya.

“Sekarang, kalian bersiaplah untuk makan siang tanpa ayah kalian. Dia sedang beristirahat, tidak bisa diganggu,” ujar Lisa sambil memasukkan makan siangnya ke piring. “Masak apa, Mom?” tanya Greyson yang heran melihat warna kuning dengan ukuran kecil keluar dari panci. “Kita makan makaroni keju leleh ya!” Lisa memberikan piring untuk Tanner dan Greyson, lalu mengambil dua piring  lagi untuk dirinya dan Alexa.
***
“Anak-anak, ayo bangun! Hari ini kita akan membeli perlengkapan ke Diagon Alley!” Lisa menepuk pinggul ketiga anaknya dengan perlahan. “Mom, berilah waktu sedikit! Aku masih mengantuk,” ujar Greyson dengan mata masih tertutup. “Ayolah, bukankah kau ingin pergi kesana, Grey?” tanya Lisa sambil menggelitik pinggang Greyson. Greyson terbangun sambil tertawa geli lalu memeluk mamanya. “Aku mau mandi!” celetuk Greyson.

Setelah semua sudah siap, Scott mengajak Lisa dan ketiga anaknya ke depan perapian di rumahnya. “Dad, apa-apaan ini? Katanya kau akan mengajakku ke Die-a-gun a-li!” ujar Greyson sambil berkacak pinggang. “Die-a-gun a-li? Diagon Alley maksudmu?” Lisa mengkerutkan keningnya. “Ya, terserah! Tempat itu maksudku! Kenapa kita ke perapian?” tanya Greyson. “Karena ini jalan menuju Diagon Alley, adikku sayaaang,” kata Tanner tertawa. “Tapi---”, “Sudah, kita berangkat sekarang. Dad sudah ada janji disana,” Greyson cemberut karena pembicaraannya dipotong oleh Scott.

Dad membuka sebuah pintu kecil yang ada di dalam perapian tersebut. Tanner masuk ke pintu paling awal dari yang lainnya, diikuti Alexa, Lisa, Greyson , lalu Scott. Greyson melihat sekelilingnya. Tidak terlihat seperti pertokoan. “Dad, ini Die---Diagon Alley. Yeah, Diagon Alley! Aku bisa, Dad! Diagon Alley! Yeeaaa! Ini terlihat seperti rumah,” Greyson melompat kegirangan.

“Ayo kita keluar!” Scott menggandeng tangan kecil Greyson lalu mengajaknya keluar. “Waw, Dad! It’s amazing! Tapi, dimana Mom, Alexa, dan Tanner?” Greyson kembali melihat sekeliling. “Mungkin di Potage’s Cauldron Shop,” jawab Dad yang memang melihat mereka dari luar. “Tempat apa itu, Dad?” tanya Greyson lago. “Kau akan tahu suatu hari nanti, Grey! Oh, come on, Mom dan kakak-kakakmu sudah menunggu kita,” Scott mempercepat langkahnya kemudian memasuki “Potage’s Cauldron Shop”.
***
1 September 2006
10.00 am

Greyson telah sampai di Stasiun kereta api King Cross. Dia melihat kedua kakaknya membawa koper besar dan burung hantu peliharaan keduanya. Greyson heran, kenapa orang-orang yang berlalu lalang jarang yang membawa troli seperti kedua kakaknya. “Mungkin aku akan tahu tiga tahun lagi,” pikirnya.

Greyson dan keluarganya berhenti di peron 9 dan 10. “Tanner, kau duluan,” ujar Scott. Lalu Tanner berlari ke arah tembok itu, dan---menghilang?! Untuk apa?” tanya Greyson dalam hati. “Oke, Alexa! Kau bersamaku. Pegang erat-erat trolimu,” ujar Lisa, lalu berlari ke tempat Tanner tadi menghilang bersama Alexa. “Are you ready, boy?!” tanya Scott sambil meletakkan tangannya di bahu Greyson. “Yeah, I’m ready!” jawab Greyson dengan semangat, ragu, dan penasaran. Mereka pun berlari ke arah yang sama seperti mama dan kedua kakaknya.

Greyson memejamkan kedua matanya. Hey---dia tidak merasakan apa-apa! “Menyenangkan!” pekiknya. Scott yang melihat hanya tertawa kecil. Greyson mendecak kagum. Kereta kuno yang bertulisan “HOGWARTS EXPRESS”, sudah siap membawa para penyihir menuju sekolahnya. “Lisa!” Scott memanggil istrinya yang sedang berdiri dihadapan Alexa. “Dimana Tanner?” tanya Greyson. “Dia sudah masuk kereta,” jawab Alexa tersenyum. “Ready?” tanya Scott. Alexa mengangguk lalu mencium pipi kedua orang tuanya dan Greyson, kemudian masuk ke kereta.

Tutt... tuutttt...

Kereta kuno itu segera berangkat. Alexa dan Tanner melambaikan tangan ke arah keluarganya dari tempat duduk yang sama. “Bye Tanner! Bye Alexa!” Greyson berteriak sambil melambaikan tangannya. “Oke, Grey! We must to go now,” ujar Lisa merangkul Greyson. “Yap! Ah, ternyata dunia sihir sangat menyenangkan! Aku tidak sabar tiga tahun lagi!” kata Greyson tersenyum lebar.

(to be continued)

21 Jun 2012

About My New Story

Hello, guys!

Fyi, I'll make new story about Greyson Chance!!! Wohooo~

I'll describe Fact about Chance's family....

.Greyson and his family are a wizard
.Greyson wizard school: HOGWARTS!
.Chance's family: pureblood.
.Scott Chance: Slytherin. The best quiddicth captain.
.Lisa Chance: Gryffindor. The brightest wizard in Hogwarts.
.Tanner Chance: Slytherin. The best keeper and a prefek.
.Alexa Chance: Ravenclaw. The brightest wizard in Hogwarts after her mother.
.Greyson Chance: Gryffindor. The sorting hat ask him to Slytherin, but he doesn't like Slytherin. Seeker and captain quidditch.

Yeah, Greyson likes Harry Potter. But the story is very DIFFERENT!!

Thanks (:

- @jascikalf -

9 Jun 2012

Ka(mu)lian yang Terbaik #1

Laras. Itulah panggilannya. Gadis cantik bermata hijau melangkah menuju sebuah ruangan. Disana sudah banyak orang-orang jenius yang akan menjadi teman sekaligus saingannya selama tiga sampai empat tahun kedepan.

Finally, Oxford University! Huaaaa,” Laras berteriak dalam hati. Kemudian Laras berjalan cepat menuju kursi kosong yang berada di paling kanan. Dengan perasaan senang sekaligus gugup, Laras mengeluarkan alat tulis dan bukunya. Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang. “Uhm, hello. What’s your name?” tanyanya. “My name is Laras. And you?” balas Laras sambil menjulurkan tangan. “Hi, Laras! I’m Cody. Cody Simpson. Nice to meet you!” katanya. “Hi Cody, nice to meet you too. Btw, where are you come from?” “I was born in Australia. But, at 2011 I moved to America to debut my first album. And finally, I’m here!” Jelas Cody. “Tatapannya. Oh Tuhan!!” tanpa sadar Laras tersenyum sendiri. Aneh, Cody tidak merasa ada yang aneh dariku. Dia terus menatapku dan sepertinya menanti jawabanku walaupun dia tidak bertanya. “Ooohh. I’m from Indonesia. Wait! First album? Are you a singer?” kening Laras mengkerut. “Yeah, hehehe,” Cody tersenyum lebar. Dia mengambil sesuai dari dalam tasnya. “This is for you. Just for you! Don’t tell anybody,” Cody memberi albumnya kepada Laras. “Gratis?” tanya Laras kebingungan. “Eh---uhm, free?” Laras lupa kalau dia sedang berada di Inggris, bukan Indonesia. Cody mengangguk. “Uhm, thanks!” Laras tersenyum. Tak lama, dosen pun datang.

“Laras! Where do you live?” Cody menghampiriku dari arah belakang. “Uhm, at---I don’t know. I’m new here. The place is not far from here. I forgot the name of the street,” kata Laras tersenyum lebar. “Laras has a sweet smile!” Pikir Cody. “Oh, okay! Come on, get into my car! Who knows we’re living in the same apartemen,” Cody menarik tangan Laras dengan lembut. Pertemuan pertama yang sedikit konyol menurut Laras.

Diperjalanan menuju apartemen, Cody dan Laras saling bertukar cerita tentang masa lalu mereka, dan saling melontarkan candaan. “Stop here, Cody. This is my apartemen,” Laras menepuk pundak kanan Cody. “I live there also! Waw, I never thought we could meet and stay in the same apartment!” kata Cody sambil tertawa. “Okay, Cody! You’re blocking the others. Hurry up!” Laras menyuruh Cody melajukan mobilnya setelah melihat antrian dibelakang semakin panjang. Laras dan Cody tertawa ketika telah menemukan tempat parkir. “What number you stay in the room?” tanya Cody melepas sabuk pengamannya. “248. You?” tanya Laras balik. “251. Oh, come on!” Cody menarik tangan Laras.
***
Sudah hampir setahun Laras dan Cody berteman. Mereka selalu saling membantu dalam mengerjakan tugas. Mereka juga sering melepas kepenatan dengan berjalan-jalan di mall bersama. Saking seringnya mereka bersama, teman-teman sering mengira mereka pacaran. Laras dan Cody hanya bisa tertawa mendengar pendapat teman-temannya.

Sebenarnya, dari hati Laras, tersimpan rasa yang tak biasa kepada Cody. Selain baik, Cody juga perhatian, tampan, gentle, dan berbeda.Tapi Laras menyadari, Cody adalah superstar. Pasti banyak perempuan yang mengidolakannya. Kadang terpikir dibenak Laras, “aku mencintai Cody lebih dari mereka. Aku benar-benar tulus mencintainya. Tidak seperti perempuan-perempuan lainnya yang hanya sekedar ‘mencintai’ Cody,” tapi Laras berusaha untuk tidak mengharapkan yang lebih. Laras takut kehilangan Cody sebagai sahabatnya. Laras tidak mau.

Brrrtt... brrrtt...

Handphone Laras bergetar. Pesan dari Cody.

Laras, I want us to meet at the park tonight at 8. And I want you to wear dress –Cody-

Laras mengangguk. Perasaan senang dan penasaran bercampur dibenaknya. Kira-kira ada apa? Laras tak peduli. Dilihatnya jarum sudah menunjukkan pukul 7. Laras harus bersiap-siap. Dia beranjak dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi. Dia sudah memutuskan untuk memakai gaun tak berlengan dengan warna hijau, warna kesukaannya. Tepat jam 7.45, Laras keluar kamar dan berjalan menuju taman untuk memenuhi janjinya kepada Cody.

Laras telah menunggu selama 30 menit di taman itu. “Mana Cody? Katanya mau ketemu disini jam 8. Apaan, sekarang udah jam 8.15 gini!” ujar Laras kesal. Orang-orang yang sedang berlalu-lalang bingung melihat Laras berbicara sendiri dengan bahasa asing bagi mereka. Laras tak peduli. Air mata Laras sudah menggenang di kelopak matanya.

Tak lama kemudian, ada bunyi kembang api. Laras tersontak kaget. Kembang api itu membentuk hati. Tiba-tiba terdengar alunan gitar yang Laras kenal. Cody. Ya, alunan gitar khas Cody. Laras membalikkan badannya. Cody tersenyum manis kepadanya sambil memainkan gitar. “Lagu apa ini? Aku belum pernah mendengar sebelumnya,” gumam Laras dalam hati.

“Laras, I love your eyes. I love your brown hair. I love all of you,” Cody menyimpan gitarnya lalu berjalan ke arah Laras. “Laras, will you be my girlfriend?” tanya Cody saat tepat berada di depan Laras. Tanpa sadar, Laras membuka mulutnya lalu membisikan kalimat, “Yes, Cody,” Cody langsung memeluk Laras lalu memutar-mutar badannya. Malam yang indah bagi mereka berdua.